Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya.
Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola.
Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya.
Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia.
Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca.
Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami.
Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya.
Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu.
Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang.
Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat,
akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000.
Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan.
Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya.
Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan.
Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya?
Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba.
Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.
Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah.
Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya.
Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan.
Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari.
Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah.
Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan.
Mereka tidak punya hati nurani.
Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia.
Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.
Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.
Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian.
Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab.
Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah.
Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya.
Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.
Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.
Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.
Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya.
Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi..
Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.
Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.
Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu.
Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.
- Sharing Andy F Noya -
Tanpa maaf, hidup akan dikuasai lingkaran kebencian dan pembalasan dendam yang tak akan pernah berakhir. - Robert Assaglioli -
Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola.
Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya.
Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia.
Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca.
Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami.
Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya.
Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu.
Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang.
Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat,
akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000.
Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan.
Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya.
Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan.
Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya?
Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba.
Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.
Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah.
Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya.
Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan.
Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari.
Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah.
Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan.
Mereka tidak punya hati nurani.
Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia.
Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.
Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.
Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian.
Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab.
Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah.
Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya.
Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.
Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.
Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.
Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya.
Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi..
Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.
Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.
Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu.
Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.
- Sharing Andy F Noya -
Tanpa maaf, hidup akan dikuasai lingkaran kebencian dan pembalasan dendam yang tak akan pernah berakhir. - Robert Assaglioli -
Regards,
Ferdy D.Savio
No comments:
Post a Comment