Wednesday, December 29, 2010

Why Not Me?


Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot.

Namun, sesuatu pun terjadilah. Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center

"Dari 43,000 pelamar, kemudian 10,000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi , latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara.

Siapakah di antara kami yg bisa melewati ujian akhir ini?

'Tuhan, biarlah diriku yg terpilih,' begitu aku berdoa.

Lalu tibalah berita yg menghancurkan itu. NASA memilih Christina McAufliffe. Aku kalah.

Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku.

Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yg mana yg kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam?

Aku berpaling pada Ayahku. Katanya, 'Semua terjadi karena suatu alasan.'

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman2 untuk
melihat peluncuran Challenger.

Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali.

'TUHAN, sebenarnya aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku?'

73 detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan
menewaskan semua penumpang.

Aku teringat kata2 ayahku,'Semua terjadi karena suatu alasan.'

Aku tidak terpilih dlm penerbangan itu, walaupun aku sangat
menginginkannya, karena TUHAN memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang.

Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tdk semua doaku dikabulkan."

Anda membaca cerita ini, bukanlah suatu kebetulan. Tuhan datang ke dunia ini, bukanlah suatu kebetulan. Karena 'semua terjadi karena suatu alasan.'


Salam,
Ferdy D.Savio

No comments:

Post a Comment